Arsip Kategori: isue terkini

Penyaluran BST Menggunakan Teknologi Pengenal Wajah

Haris Husein, SVP Sales dan Marketing Bisnis Jasa Keuangan PT. Pos Indonesia menyatakan untuk penyaluran bantuan sosial tunai (BST) tahun 2021 rencananya akan menggunakan teknologi pengenal wajah,”

PT. Pos Indonesia sudah melakukan distribusi untuk program tersebut dengan tiga cara, yaitu disalurkan di kantor pos, penyaluran ke lokasi yang banyak KPM-nya dengan memanfaatkan balai desa, kantor kecamatan, dan sekolah-sekolah, dan mengantar langsung ke KPM khususnya bagi yang lanjut usia, sakit, dan penyandang disabilitas. 

Lebih lanjut, Haris Husein menjelaskan, “Penyaluran ini bisa dipertanggungjawabkan oleh PT. Pos, maka dalam prosesnya kami memanfaatkan aplikasi pos biro mobile, dalam proses pertanggungjawabannya kami memberikan surat pemberitahuan kepada KPM, yang memuat informasi syarat, informasi bahwa tidak ada potongan di dalamnya, dan proses verifikasi dilakukan memanfaatkan QR Code.

Pemerintah kembali melanjutkan program perlindungan sosial (perlinsos) pada 2021 ini. Perlinsos merupakan salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai upaya mengurangi dampak COVID-19 terhadap masyarakat, khususnya bagi permasalahan ekonomi. Perlinsos memiliki alokasi anggaran terbesar yang bertujuan memberi dukungan daya beli untuk menekan laju kemiskinan serta mendorong konsumsi masyarakat. 

Di dalam perlinsos terdapat sejumlah program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (Bantuan Sembako), dan Bantuan Sosial Tunai (BST). Pada 2020, program ini mencapai realisasi 100%.

Sonny W. Manalau, Staf Ahli Menteri Sosial dan Anggota Komite PEN menjelaskan, “Program Bansos regular Kementerian Sosial (Kemensos) disinkronkan dengan program PEN. Ini salah satu upaya memberikan ketahanan ekonomi bagi masyarakat melalui perlindungan sosial, termasuk masyarakat yang terdampak langsung atau tidak langsung akibat pandemi,” terangnya dalam Dialog yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Rabu (3/2).

Tahun 2021 merupakan tahap kedua dan Kemensos kembali berkonsolidasi dengan mitra-mitranya agar penyaluran program perlindungan sosial ini tepat sasaran, tepat waktu, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

“Ada perbaikan pelaksanaan di tahun 2021 setelah melalui tahap evaluasi program di 2020 lalu. Terdapat tiga program perlindungan sosial dalam rangka PEN yang diluncurkan 2021 yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (Bantuan Sembako), dan Bantuan Sosial Tunai (BST),” terang Sonny Manalau.

Lebih rinci, Sonny Manalau menjelaskan, “Untuk Bantuan Sembako ditargetkan menyentuh 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Lalu BST ditargetkan menyentuh 10 juta keluarga penerima manfaat. Di 2021, Kemensos menganggarkan Rp45 Triliun untuk Bantuan Sembako, bekerja sama dengan Bank Himbara seperti BNI, Mandiri, BRI, dan BTN untuk penyalurannya. Khusus di wilayah timur Indonesia yang sulit dijangkau, disalurkan oleh PT. Pos”. 

Untuk anggaran BST, Kemensos mengalokasikan Rp12 Triliun. “Penerimanya khusus bagi yang terdampak pandemi COVID-19 dan bukan penerima PKH maupun Bantuan Sembako. BST disalurkan secara keseluruhan oleh PT Pos langsung ke KPM dari periode Januari-April 2021. Selain itu, bantuan PKH dialokasikan Rp20 Triliun yang disalurkan per triwulan dan realisasinya sudah mencapai hampir 28% untuk triwulan pertama 2021 ini,” terang Sonny Manalau.

Bima Arya, Walikota Bogor membenarkan telah berkoordinasi untuk penyaluran ini, “Di Kota Bogor, kita terus berkoordinasi dengan Dinas Sosial dan PT. Pos, agar kita pastikan masyarakat mematuhi protokol kesehatan saat pendistribusiannya,” jelasnya.

Ditambahkan lagi oleh Bima Arya, “Yang terpenting memang kita selalu memperbarui sasaran dan teknis jadwal pemberian. Penting bagi pemerintah kota mengetahui tahapan-tahapannya sehingga kita bisa mengkoordinasikan dan menginformasikan kepada penerima manfaat”.

Untuk mekanisme penyaluran hingga tingkat penerima manfaat, Bima Arya berkata, “Ada beberapa mekanisme, pertama kita ada surat edaran berjenjang dari Kemensos, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Camat, Lurah, RT/RW. Itu mekanisme resminya. Kedua, di Kota Bogor penerima manfaat bisa langsung memasukkan data ke aplikasi Salur sehingga mereka bisa tahu masuk ke dalam daftar penerima bantuan atau tidak.”

Riwayat Jurusan Ilmu Sosiatri Universitas Gadjah Mada yang berubah menjadi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Tulisan Prof. Dr. Susetiawan, SU cukup memberikan argumentasi tentang kenapa jurusan ilmu sosiatri di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berubah. Sebagai alumni dari jurusan tersebut saya kira tulisan Prof Dr. Susetiawan SU di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Universitas Gadjah Mada Volume 9 No 2 November 2005 sangat perlu untuk dipublikasikan lebih lanjut kepada komunitas pemerhati dan akademika yang konsen terhadap pembangunan dan kebijakan sosial karena fokus dari Jurusan ini adalah pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial

Gaji 13 PNS Cair Bulan Ini: PP No 33 tahun 2011 tentang pemberian gaji atau pensiun tunjangan bulan ketiga belas dalam tahun anggaran 2011 kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiun tunjangan telah terbit

Kementerian Keuangan memastikan 4,7 juta PNS akan mendapatkan gaji ke-13 bulan ini. Kepastian tersebut menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2011 tanggal 30 Juni 2011 tentang pemberian gaji atau pensiun tunjangan bulan ketiga belas dalam tahun anggaran 2011 kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiun tunjangan.

Dirjen Perbendaharaan Negara Kemenkeu Agus Suprijanto dalam keterangan tertulis yang dirilis Sabtu (2/7) mengatakan, pengajuan surat perintah membayar oleh masing-masing satuan kerja akan dilakukan Juli ini. Untuk PNS pusat, gaji ke-13 akan dibayarkan langsung ke rekening masing-masing, sementara untuk PNS daerah akan dibayarkan melalui APBD masing-masing daerah. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, telah terbit peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan mengenai petunjuk teknis pemberian gaji 13 tersebut yaitu Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No 38/PB/2011 tanggal 1 Juli 2011

Sementara, gaji ke-13 untuk penerima pensiun atau tunjangan akan dibayarkan melalui PT Taspen (Persero) atau PT Asabri (Persero) pada bulan ini. “Pencairan ini mempertimbangkan adanya kebutuhan pembiayaan pendidikan anak-anak PNS, TNI, dan Polri,” tutur Agus. (kuh)

Silahkan klik disini untuk download Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2011

Silahkan klik disini untuk download Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No 38/PB/2011 tanggal 1 Juli 2011

Anak Jalanan: Tinjauan Teori Interaksi Simbolik dengan Presfektif Teori Labeling


A.     Permasalahan

Minimnya kesempatan kerja baik itu pada sektor formal/informal dan nonformal membuat orang bekerja apa saja termasuk menjadi pengamen. Pengamen dianggap banyak mengandung dan mengundang masalah di daerah perkotaan karena pengamen dianggap sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, penggannggu ketertiban umum dan bukan karena merasa terhibur orang memberikan uang melainkan agar pengamen segera meninggalkan tempat itu.

Dari 22 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menurut DepartemenSosialRImaka pengamen berpotensi masuk menjadi anak jalanan apabila pengamen tersebut masih anak-anak. Gelandangan dan pengemis apabila pengamen tersebut hidup tidak menetap dan cenderung mengamen hanya untuk mendapatkan belas kasihan masyarakat, fakir miskin apabila pengamen tersebut terpaksa mengamen karena alasan untuk mencari nafkah, dan seringkali kehidupan jalanan identik dengan penyalahgunaan narkoba dan penderita HIV/AIDS. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial RI pada tahun 2008 secara nasional terdapat 109.454 jiwa anak jalanan dengan sebaran terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (11,56%), Nusa Tenggara Barat (11,24%), Lampung (9,02% Jawa Timur (9,0%) , dan Sumatera Utara (5,79%). Berdasarkan data tersebut ternyata anak jalanan tidak hanya berada dikota-kota besar seperti:Jakarta,Bandung,Semarangdan Makasar justru anak jalanan paling banyak ada di kota-kota kecil di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

“Pembajakan” Ilmuwan Masih Berlangsung

Jakarta, Kompas – Minimnya sarana dan pemanfaatan hasil riset serta lemahnya sistem penghargaan tidak menjadi kendala bagi sejumlah ilmuwan dalam mengembangkan keahlian. Namun, kondisi ini dimanfaatkan negara lain untuk ”membajak” ilmuwan Indonesia.

Sejumlah ilmuwan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, ilmuwan yang diincar terutama dengan keahlian langka.

”Iming-iming yang diberikan umumnya gaji tinggi dan fasilitas lengkap,” kata ahli mikrobiologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, I Made Sudiana, Selasa (8/2) di Cibinong Science Center, Cibinong, Jawa Barat.

Sudiana baru-baru ini mengembangkan riset isolasi dan pengembangbiakan mikroba tanah dari lereng Gunung Merapi. Tujuan riset untuk percepatan pengayaan unsur hara lereng Merapi pascaletusan tahun lalu. Pengambilan sampel tanah berjarak 5 kilometer sampai 20 kilometer dari puncak Merapi.

Saat ini Sudiana mampu mengisolasi dan mengembangbiakkan lima strain mikroba endemik lereng Merapi yang berfungsi sebagai pelarut fosfat, penambat nitrogen, dan pengatur hormon tumbuh. Mikroba-mikroba itu kemudian diintegrasikan ke dalam pupuk organik cair yang sudah siap diaplikasikan untuk produksi pertanian di lereng Merapi yang kini sebagian besar masih tertutup material vulkanik.

”Mungkin karena hasil riset ini, negara tetangga menawari bekerja dengan gaji Rp 40 juta sebulan,” kata Sudiana. Lebih dari tujuh kali lipat dari gaji sekarang.

Merancang kebutuhan

Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Amin Soebandrio mengatakan, Indonesia tidak secepat negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, atau Vietnam, dalam mengoptimalkan tenaga peneliti unggulan.

”Sebetulnya, bukan pendapatan tinggi yang diharapkan para periset, tetapi lebih pada iklim penelitian yang menyegarkan,” kata Amin.

Carunia Mulya Firdausy, profesor riset pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, mengatakan, negara-negara yang sedang melangkah maju melalui kegiatan riset, seperti Malaysia dan Korea Selatan, justru melarang para ilmuwannya bekerja ke luar negeri. Meski demikian, pemerintah memberikan fasilitas yang memadai untuk peneliti.

Amin mengatakan, ”pembajakan” para ilmuwan juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai prestasi menggapai reputasi internasional. (NAW)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/09/04204263/pembajakan.ilmuwan.masih.berlangsung

 

Main Api Terbakar

Ahmad Syafii Maarif

Kultur buram menyandera kita. Peribahasa Melayu itu selengkapnya berbunyi: ”Main api terbakar, main air basah”. Artinya, setiap perbuatan yang menyerempet bahaya atau perbuatan kotor, si pelaku harus berani menanggung risikonya, jangan dipikulkan ke atas pundak orang lain.

Peribahasa ini akan saya pakai sebagai pisau pembedah tentang karut-marutnya kultur Indonesia mutakhir di ranah politik kekuasaan, ekonomi, hukum, dan moral. Keempat ranah ini sudah bertali berkelindan sehingga amat sulit memisahkannya. Satu sama lain saling menempel dan mungkin sudah saling berselingkuh. Politik punya tujuan ekonomi, sebaliknya ekonomi perlu payung politik. Di antara keduanya posisi hukum diperlemah dan diperdagangkan. Pertimbangan moral sudah lama menguap, entah ke mana.

Harus ada jalan ke luar

Karena kondisi moral bangsa sudah demikian rapuh dan pengap, kelakuan mereka yang mengaku beragama atau yang tak hirau dengan agama sudah tidak bisa dibedakan lagi. Itulah kultur buram Indonesia sekarang yang dapat kita amati dengan gampang siang dan malam melalui berbagai media cetak, elektronik, dan dalam pembicaraan di mana-mana, di kota dan di kampung.

Di warung-warung kopi di seluruh Nusantara, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dalamnya guncangan kultural yang tengah menyandera publik dalam rentangan radius yang sangat luas. Dalam perspektif fenomenologi semuanya ini tentu menarik untuk diteropong, sekalipun benang kusutnya tidak mudah diurai dan dibongkar karena menyangkut sistem kekuasaan yang sedang berlaku.

Di tengah kultur yang menyesakkan napas itu, siapa sebenarnya yang tega main api? Apakah auktor intelektualisnya berupa sosok perorangan atau berupa kekuatan masif, kita belum bisa memastikan.

Selama auktornya tetap bersembunyi, publik akan terus meraba-raba secara spekulatif, dengan maksud baik dan damai, atau karena ingin perubahan radikal dengan segala akibatnya. Kelompok terakhir ini mewakili arus kecil dalam masyarakat yang tidak peduli lagi apakah perubahan yang dibayangkan itu akan berdarah-darah dan merusak bangunan milik publik.

Bagi mereka, itu semua risiko setiap perjuangan. Saya sendiri memang ingin perubahan, tetapi harus tetap damai, konstitusional, dan haram berdarah-darah. Kita jangan lagi membebani bahu bangsa yang sudah sarat beban yang nyaris tak terpikul. Dalam bacaan saya, semua sisi gelap di atas adalah akibat logis syahwat kekuasaan mereka yang tunamoral yang telah lama mengubur dan menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Syahwat yang tak terkendali pasti membutakan mata, membunuh kesadaran nurani, dan di ujungnya sedang menunggu tragedi ini: bangsa dan negara akan digiring ke posisi kehilangan kedaulatan di tengah-tengah lautan kemiskinan sebagian rakyat kita. Dari sudut pandang inilah saya sangat berharap dalam tempo tak terlalu lama mereka yang telah main api cepat siuman dan tak meneruskan petualangan syahwat yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara yang susah payah dibangun selama ini. Pemain api adalah pengkhianat. Titik! Titik-titik api yang mendesak untuk dipadamkan.

Kita ambil masalah-masalah besar saja sejak tiga tahun terakhir. Dari sumber-sumber yang punya otoritas, saya mendapatkan info cukup mengerikan tentang siapa sebenarnya yang bermain api itu. Namun, untuk pengungkapannya lebih jauh sekarang, biarlah waktu yang akan memberi tahu publik pada saatnya.

Yang perlu dijaga adalah agar bangsa dan negara ini tetap utuh dan damai, tidak semakin oleng dan terkoyak-koyak. Masa depan Tanah Air yang elok ini masih bisa diselamatkan dengan syarat kita tak membiarkannya terus meluncur menjadi bangsa paria, tempat pihak neoimperialis dan agen-agen domestiknya sedang bekerja untuk itu, sadar atau tidak sadar.

Mesir di bawah Hosni Mubarak adalah contoh telanjang tentang betapa jauhnya cakar neoimperialis itu telah membius Mesir. Anda tentu sudah tidak sabar menunggu apa yang saya maksud dengan permainan api itu, bukan? Sebenarnya publik sudah tahu masalah-masalah besar itu, tetapi siapa pemain yang sebenarnya masih gaib oleh sebagian besar publik kita.

Serangkaian drama

Saya sendiri masih terus mengumpulkan data valid tentang semuanya itu. Ada beberapa kasus aneh yang perlu dibicarakan di sini. Misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang kemudian menyeret Antasari Azhar sebagai Ketua KPK ketika itu ke meja hijau bukan perkara sederhana. Kesaksian ilmiah ahli forensik kenamaan, Dr Mun’im Idris, yang membantah rekayasa pihak kepolisian tentang penyebab kematiannya masih dibiarkan menggantung di awang-awang. Juga kesenjangan yang sangat jauh antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim terhadap Antasari kian menghilangkan kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.

Pada saatnya, drama ini harus dibongkar lagi. Jika tidak oleh penguasa sekarang, penguasa berikutnya tidak punya pilihan lain kecuali membukanya untuk publik. Pembongkaran ini akan memberi tahu kita siapa yang main api di belakang panggung politik ini. Apa kaitannya dengan perhitungan suara dalam Pemilu 2009 di tangan KPU-nya yang tidak profesional.

Drama kedua yang tidak kurang mengganggu adalah rekayasa terhadap Bibit- Chandra yang pernah ditahan dan sampai hari ini Komisi III DPR masih bersilat lidah untuk mempersoalkan kehadiran mereka di DPR. Tampak jelas di sini bahwa politik kepentingan pragmatis anggota DPR tidak bisa disembunyikan lagi.

Masih bertalian dengan kasus BibitChandra, pemberhentian Susno Duadji sebagai Kabareskrim dan kemudian memperkarakannya juga tak boleh dipandang enteng. Susno adalah saksi dan sumber kunci tentang banyak hal, seperti Daftar Pemilih Tetap pemilu, skandal Bank Century, dan tentu masih banyak yang lain. Pembungkamannya—karena disumbat mulutnya untuk berbicara kepada publik—hanya akan kian mengeruhkan kondisi politik yang memang sudah keruh. Pada saatnya, kita mungkin akan tahu peta politik sebenarnya tentang siapa bermain api di belakang penangkapan Susno ini.

Drama ketiga adalah kasus Gayus Tambunan yang nyaris mengalahkan negara. Di belakang mafia pajak ini pasti berkomplot para pejabat yang merangkap penjahat penting yang telah pula main api untuk membakar republik tercinta ini. Kasihan Indonesia yang telah dijadikan panggung bulan-bulanan oleh anak-anaknya sendiri yang sarat dusta (baca: bohong) dan dosa melalui perbuatan hitam, sementara kepemimpinan nasional terasa kian lemah dan kehilangan perspektif.

Akhirnya, Anda jangan terlalu risau. Masih ada optimisme di sini. Sekali nilai- nilai luhur Pancasila ditegakkan di ranah politik, ekonomi, hukum, dan moral; pasti akan segera ketahuan siapa yang main api selama ini dan pasti akan terbakar. Dibakar oleh kesadaran tulus dan dalam warga negara tentang perlunya pembelaan terhadap bangsa dan negara agar tidak tiarap di depan kekuatan mana pun dan di depan siapa pun. Negeri milik kita ini bukanlah negeri tempe yang tidak mampu bangkit serentak bagi suatu langkah besar ke depan secara kolektif.

AHMAD SYAFII MAARIF Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/07/03480643/main.api.terbakar

 

Kesejangan Itu Makin Lebar

Jakarta, Kompas – Perekonomian Indonesia pada 2010 tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan di masyarakat.

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin (7/2), mengatakan, kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka.

Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan, pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Rp 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 27 juta per tahun.

Jumlah ini didapat dari membagi Rp 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.

Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.

Pertumbuhan PDB pun kemudian didukung oleh ekspansi investasi, terutama untuk industri manufaktur yang menciptakan lapangan kerja.

Meski demikian, komposisi investasi yang sudah melebihi 30 persen dari PDB telah menunjukkan ada sirkulasi yang bermanfaat bagi perekonomian jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi pada 2010 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 3,34 juta orang. Dengan demikian, menurut Rusman, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi pada 2010 mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang.

”Ini cukup bagus. Penciptaan lapangan kerja paling besar pertama adalah sektor jasa 325.000 orang. Nomor dua industri pengolahan yang mampu menyerap 220.000 orang,” ujarnya.

Yanuar Rizky berpendapat, konsumsi penopang pertumbuhan ekonomi baru dikatakan berkualitas apabila mampu mendorong kegiatan produksi yang menyerap lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kita seperti terpisah dari fungsi produksi.

Sektor jasa dari perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh sebesar 8,7 persen dan menjadi penyumbang terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, yakni 1,5 persen.

Sumber pertumbuhan PDB terbesar lain adalah angkutan dan industri, masing-masing 1,2 persen.

Konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,7 persen dan investasi 2 persen.

Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestik didapat lewat impor.

Yanuar mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.

Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen aset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).

”Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan itu berasal dari deposito dan instrumen finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp 100 juta, menurut data BPS. Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain di pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.

Industri terpuruk

Kalangan pengusaha juga turut mengkhawatirkan adanya kesenjangan lapisan masyarakat kaya dan miskin. Apabila pemerintah terlambat menanganinya, akan terjadi persoalan sosial yang berdampak terhadap stabilitas ekonomi dan politik.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengemukakan, pengusaha terus berusaha keras menjadi lokomotif perekonomian nasional. Namun, upaya keras tersebut akan sia-sia apabila pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi yang ada, seperti infrastruktur, penegakan hukum, pasokan energi, dan ekonomi biaya tinggi.

”Industri manufaktur masih tertolong dengan pertumbuhan sektor otomotif dan elektronik. Toyota dan Honda masih tumbuh karena jumlah penduduk terus bertambah, elektronik masih maju karena mengekspor,” ujar Sofjan.

Namun, kondisi ini dikhawatirkan tidak bertahan lama jika pemerintah tak segera mengubah kebijakan bea masuk yang memanjakan importir. Kebijakan tersebut, termasuk menaikkan tarif dasar listrik, menghantui dunia usaha.

Minat pengusaha memproduksi barang menurun. Mereka kini menjadi lebih pragmatis dan sebagian mulai beralih menjadi importir sehingga lambat laun mempersempit penciptaan lapangan kerja baru.

Kondisi ini yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Yang menikmati pertumbuhan hanya sebagian kecil masyarakat dan masih banyak yang hidup pas-pasan.

”Bagaimana mau tumbuh baik kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan industri manufaktur. Pengusaha juga tidak mau terkena getah dan setback kalau terjadi apa-apa akibat dampak kesenjangan pendapatan,” ujar Sofjan.

Dalam laporan BPS, kontribusi industri pengolahan dalam PDB merosot selama tiga tahun terakhir.

Pada 2008, industri pengolahan berperan sebesar 27,8 persen dalam PDB, lalu turun menjadi 26,4 persen pada 2009 dan 24,8 persen pada 2010. Industri pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyerap sedikitnya 40 juta pekerja dari 108,21 juta pekerja. (ham)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/03270531/kesenjangan.semakin.lebar

Setelah Gerakan Moral

Oleh

Donny Gahral Adian

Suatu hari yang mendung di awal 2011. Sekelompok agamawan berkumpul menyerukan betapa rezim SBY suka berbohong. Media menyitirnya. Rezim bereaksi keras. Tumbukan keduanya berakhir di ruang berpendingin di Istana Negara.

Rezim berargumen tuduhan para agamawan itu keliru. Rezim tidak berbohong, tetapi yang ia lakukan belum sesuai dengan target yang dikehendaki. Di sisi lain, kelompok agamawan sibuk menangkis tuduhan bahwa gerakan mereka didomplengi kepentingan politik. Mereka menegaskan ini murni gerakan moral tanpa tendensi politis. Yang mereka kehendaki: perbaikan kinerja pemerintahan, bukan pemakzulan.

Omong kosong

Saya termasuk sedikit orang yang tak percaya garis pembatas antara gerakan moral dan politik. Carl Schmitt mengatakan betapa moralitas dapat berubah politis seketika. Saat antagonisme mencapai intensitas tertentu, gerakan moral yang dingin dapat jadi panas dan sarat permusuhan.

Saya teringat pada sebuah peristiwa di ujung rezim Soeharto. Di satu hari yang terik pada 1998, sekelompok ibu kumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Tuntutan mereka sangat domestik: turunkan harga susu! Sebagian menganggapnya gerakan moral belaka, segaris seruan terhadap pemerintahan yang limbung akibat krisis ekonomi. Namun, siapa nyana gerakan itu memicu prahara politik, meruntuhkan rezim totaliter berumur puluhan tahun.

Gerakan dapat saja berbasis moral keagamaan. Nilai-nilai keagamaan dapat menginspirasi sebuah gerakan untuk perubahan. Agama mengajarkan umat berkhidmat pada kebenaran. Kekeliruan harus diluruskan, kebohongan harus dibongkar habis. Pemerintahan yang berbohong berjalan di luar rel nilai keagamaan.

Agamawan pun memiliki hak teologis mengingatkan pemerintahan sedemikian rupa. Persoalannya, apakah status quo dapat runtuh hanya dengan rentetan khotbah dan kutipan kitab suci? Gerakan moral punya kelemahan fatal. Pertama, status quo akan sangat mudah memoderasinya. Absennya politik dari gerakan moral membuat status quo memperlakukannya sebagai mitra dan bukan lawan politik yang diperhitungkan.

Presiden dapat dengan mudah mengatakan, ”Kami menyadari kekeliruan kami dan sangat menanti sumbang saran alim ulama sekalian selaku mitra yang konstruktif.” Kritik tidak dijawab, tetapi dinetralisasi. Ia dianggap sumbang pikiran yang perlu ditimbang, tetapi belum tentu dilaksanakan. Bahasa sederhananya: masuk telinga kiri, hinggap di pikiran sebentar, lalu keluar dari telinga kanan.

Kedua, gerakan moral berhenti pada diskursus normatif. Gerakan moral hanya menyalahkan status quo dari kacamata moral: berbohong. Tuntutan normatif pun hanya minta respons normatif. Rezim tinggal berkata, ”Ya, kami berbohong. Untuk itu kami minta maaf.” ”Data itu memang tak diolah secara saksama sehingga tak akurat.” ”Pemerintah tak bermaksud berbohong, kekeliruan terletak pada implementasi yang kurang rapi.”

Ujung dari tuntutan normatif adalah permintaan maaf dan janji tak mengulanginya. Tuntutan ini sangat tinggi dari kacamata moralitas, tetapi sangat naif dari kacamata politik. Tuntutan politik bukan sekadar permintaan maaf, melainkan perubahan politik, baik moderat maupun radikal. Dalam bahasa sedikit rumit, tuntutan moral adalah tindak ujar yang tak mengubah keadaan. Tuntutan moral adalah omong tanpa aksi, retorika tanpa isi.

Semuanya gerakan politik

Saya percaya: tak ada sesuatu di luar gerakan politik. Semua gerakan politik, baik berupa tunas maupun pohon besar. Baik ibu-ibu yang menuntut harga susu turun maupun agamawan yang minta kebenaran. Semua adalah tunas politik yang siap membesar. Kaum ibu di ujung Orde Baru sengaja menyembunyikan napas politik dalam gerakannya sebab kuping Orde Baru sangat tipis. Ia siap mencopot kuping siapa saja yang berseberangan. Lalu, apa yang menahan para agamawan memproklamasikan gerakan mereka sebagai gerakan politik? Mereka tak punya bisnis yang dipertaruhkan, hanya mengabdi pada imperatif suci dari langit.

Filsuf Alain Badiou berilustrasi mengenai peristiwa 18 Maret 1871 di Paris, hari terbentuknya Paris Commune, otoritas lokal yang dibentuk kaum buruh yang dua bulan mengendalikan Paris. Yang menarik pada 18 Maret 1871 adalah sesuatu yang absen dari pentas politik Perancis (buruh) tiba-tiba menampakkan diri. Kaum buruh tak sekadar menampakkan diri. Ia sekaligus mengambil alih kekuasaan lokal di Paris.

Hari itu kaum buruh, yang tak punya mandat memerintah, memberi mandat kepada diri sendiri. Dengan itu, mereka tolak perintah Versailles menyerahkan kanon-kanon yang ditempatkan di Paris. Gerakan politik mereka kontroversial tetapi dikenang sebab tak sembunyi di balik jargon moral, melainkan jujur menampakkan wajah politiknya. Kaum agamawan di Jakarta tiba-tiba keluar dari ruang sakral dan menghardik di ruang profan. Kemunculan mendadak ini adalah sesuatu yang politis. Tanpa menunggu sebutan, gerakan agamawan—seperti ibu-ibu di Bundaran HI dan kaum buruh—adalah gerakan politik in optima forma.

Penyangkalan adalah patologi psikologis yang berakibat buruk bukan hanya bagi gerakan, melainkan juga kepada mereka yang ia bela. Saya pikir gerakan kaum agamawan harus mau berdamai dengan kodrat politik gerakannya. Daripada terus mengibas debu politik dari jubah sucinya, agamawan harus terus menyuarakan kebenaran, mengorganisasikan diri, dan menjaga militansi. Hasil akhir masih berupa misteri politik. Namun, saya sedikit di antara orang yang sangat ingin tahu akhir cerita epos politik ini.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern di UI

sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03430979/Setelah.Gerakan.Moral

Kemiskinan dan Pengukurannya

Sebuah artikel menarik tentang si miskin, sebagai  pe[pe

Jumlah Si Miskin

Kecuk Suhariyanto

Sejumlah tokoh lintas agama membuat pernyataan terbuka. Mereka menyebut pemerintah telah berbohong. Tidak tanggung-tanggung kebohongan itu. Jumlahnya delapan belas, terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Demikian tersua di pelbagai media.

Karena pernyataan terbuka ini merupakan seruan moral tokoh lintas agama yang tak punya kepentingan politik praktis, gaungnya ke mana-mana. Pemerintah berusaha membela diri, tetapi membikin situasi justru lebih buruk. Pemerintah dinilai kurang arif dan tak mau menerima masukan konstruktif.

Salah satu kebohongan lama yang disebutkan adalah perihal penyampaian angka kemiskinan. Pemerintah dituduh berbohong karena menyatakan jumlah penduduk miskin 2010 adalah 31,02 juta jiwa, padahal data penduduk yang layak menerima beras miskin 70 juta jiwa.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada dua angka kemiskinan yang jauh berbeda, padahal keduanya sama-sama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data kemiskinan makro

Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah. Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.

Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.

Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari waktu ke waktu.

Salah satu data kemiskinan yang mengundang polemik panjang adalah data kemiskinan pada Maret 2006. BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin naik dari 35,1 juta jiwa (15,97 persen) pada Februari 2005 menjadi 39,30 juta jiwa (17,75 persen) pada Maret 2006 karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Data kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2010 ketika jumlah penduduk miskin 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen total penduduk Indonesia. Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan target geografis.

Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Data kemiskinan mikro

Masalah muncul saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dan ingin memberi kompensasi kepada penduduk lapisan bawah berupa penyaluran bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Orientasi program penanggulangan kemiskinan di Indonesia mendadak berubah total.

Di zaman Orde Baru, program penanggulangan kemiskinan memakai pendekatan geografis (desa), seperti Inpres Desa Tertinggal. Sejak tahun 2005, yang digunakan pendekatan individu atau rumah tangga, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Penyaluran bantuan langsung tak bisa memakai data kemiskinan makro sebab memerlukan nama dan alamat si miskin. Pengumpulan data harus dengan sensus, bukan sampel, sehingga data yang dihasilkan disebut sebagai data kemiskinan mikro. Ini berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.

Sampai saat ini baru dua kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005 dan September 2008. Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa. Jadi, sebetulnya tak ada dua angka kemiskinan. Data 31,02 juta menunjukkan penduduk miskin, sementara data 70 juta menunjukkan penduduk miskin plus hampir miskin.

Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Sedikit gejolak ekonomi akan menyebabkan mereka mudah berubah status menjadi miskin. Maka, setiap kebijakan yang diambil harus memperhitungkan dampaknya bukan hanya pada rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin. Sehari-hari keduanya sering tak berbeda nyata.

Kecuk Suhariyanto Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, BPS

Sumber :http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04361281/jumlah.si.miskin